Mengenai Saya

Foto saya
I’m a Taurus-girl, so I’m determined, glamorous, loving, reliable, responsible, n solidarity. My path-life: 9, my blood type: “O”, n I’m ruled by Venus. Blue, Dolphin, sky, n everything on the sky are my favorite things. Someday I’ll be the Venushiniestar.

Selasa, 23 April 2013

“Abel Dorris dan Fetal Alcohol Syndrome”


Fetal Alcohol Syndrome (FAS), kelompok ketidaknormalan yang ditunjukkan oleh anak dari ibu yang mengkonsumsi minuman keras selama kehamilan, merupakan penyebab utama keterbelakangan mental. Tetapi pada 1971, ketika Michæl Dorris mengadopsi seorang anak laki-laki Siox yang memilki ibu pemabuk berat, fakta tentang FAS belum dipublikasikan secara luas atau diselidiki secara ilmiah, walaupun sindrom tersebut telah diamati selama berabad-abad. Hingga sebelas tahun kemudian, sebagaimana yang diceritakan Dorris dan The Broken Cord (1989), dia menemukan sumber masalah perkembangan anak angkatnya. Anak tersebut diberi nama Abel (Adam dalam buku tersebut), lahir sekitar tujuh minggu lebih awal, dengan kekurangan berat badan, dilecehkan dan menderita kekurangan makan sebelum dipindahkan ke keluarga angkatnya. Ibunya meninggal di usia 35 tahun akibat keracunan alkohol. Ayahnya dipukul hingga tewas di sebuah lembah setelah berkali-kali ditangkap. Anak laki-laki tersebut terlalu kecil untuk ukuran anak seumurannya, tidak mendapat toilet training, dan hanya dapat berbicara dua puluh kata. Walaupun dia telah didiagnosis sebagai penderita keterbelakangan mental menengah, Dorris yakin bahwa dengan lingkungan yang positif, si anak akan dapat menyusul ketertinggalannya.
Tetapi Abel tidak dapat menyusul ketertinggalan tersebut. Ketika ia masuk usia 4 tahun, dia masih memakai popok dan beratnya hanya 27 pound. Di kesulitan untuk mengingat nama teman bermainnya. Tingkat aktivitasnya sangat tinggi, dan lingkar kepalanya dangat kecil. Dia menderita masalah ukuran yang serius dan tidak dapat dijelaskan.
Seiring dengan berjalannya waktu, Abel kesulitan belajar menghitung, mengidentifikasi warna inti, dan megikat sepatunya.  Sebelum masuk sekolah, ia telah dilabel dengan “tidak mampu belajar” (learning disable). iQ-nya selalu berada di level 60-an. Berkat usaha keras guru tingkat pertamanya, Abel belajar membaca dan menulis, tetapi pemahamannya rendah. Ketika si anak tersebut menyelesaikan sekolah dasanya pada 1983, dia tetap saja tidak dapat menambah, mengurang, meghitung uang, atau secara konsisten mengenali kota, negara bagian, kampung, atau planet tempat tinggalnya. (Dorris, 1989, page 127-128)
Saat itulah Michæl Dorris memecahkan teka-teki apa yang salah denagn anak angkatnya. Sebagai associate Profesor di Native American Studies di Dartmouth College, menyebar di kalangan Indian Amerika. Pada tahun 1982, setahun sebelum kelulusan Abel, Michæl mengunjungi pusat perawatan bagi remaja yang menderita ketergantungan kimiawi di reservasi Siox, Dakota Selatan. Di sana, ia tercengan melihat dua orang anak yang bisa jadi merupakan saudara kembar Abel (Dorris, 1989, page 137). Mereka tidak hanya mirip, tetapi juga bertindak seperti Abel.
Fetal Alcohol Syndrome (FAS) telah diidentifikasi pada 1970-an, ketika Abel tumbuh. Sekali alkohol masuk ke dalam aliran darah janin maka ia akan terus berada di sana dalam tingkat konsentrasi tinggi dalam jangka waktu yang lama, mengakibatkan kerusakan otak dan merusak organ tubuh lainnya. Tidak ada obat untuk yang ini. Sebagaimna yang ditulis oleh pakar medis, “bagi janin, mabuk mungkin terjadi seumur hidupnya” (Enloe, 1980, page 15).
Bagi keluarga Dorris efek dari FAS bisa mengerikan. Usaha konstan selama bertahun-tahun, pertama-tama untuk mengembalikan Abel ke tingkat normal dan kemudian sampai pada  kesimpulan bahwa kerusakan permanen yang terjdai dalam rahim mungkin menjadi salah satu penyebab masalah perkawinan Michæl Dorris dengan penulis Louise Erdich, ynag kemudian memuncak pada perceraian, dan bunuh diri yang dilakukannya pada 1997 di usia 52 tahun. Menurut Erdich, Dorris menderita depreesi berat, ynag mungkin disebabkan oleh berbagai masalah ynag dihadapinya sebagai seorang ayah (L. Erdich, komunikasi personal, 1 Mareet 2000).
                 Bagi Abel sendiri, pada usia 20 tahun, ia mengikuti program pelatihan bicara dan pindah ke rumah yang diawasi, membawa koleksi binatang-binatangnya, kertas, boneka, karton koran, foto keluarga, dan kartu ulang tahun lama. Pada usai 23, lima tahun sebelum kematian ayahnya, dia tertabrak mobil dan tewas (Lyman, 1997).
Source: Diane E Papalia, Sally Wendkos Old, & Ruth Duskin Feldman, Human Development (ninth edition), The Mcgraw Hill Companies ©2008. Dialihbahasakan oleh A. K. Anwar, Human Develoment (Psikologi Perkembangan) edisi kesembilan cetakan ke-2,  Jakarta: Kencana, 2010. 

B1A4 "Baby I'm Sorry" [quotes]


Shimjangi deo apa onda (my heart is hurting more)
Nunmuri deo malla onda (my tears are drying more)
Beorin maeumeun ssaeng (my left-behind heart is empty)
Uriye chueok ijen jiwoya dweni Babe? (do I need to erase all of our memories now, Babe?)
Babo cheoreom neoman chatge dwel geol (like a fool, I only look for you)
Now I’ll let you go. Though everything changed but oh though you’re not here
Ijen gwaenchan ketji hamyeonseo (I tell myself that everything will be okay now)
Jongmal ige matnun geonji? (is this really the right thing to do?)
Ijen bonaelge (I’ll let you go)

“Victor Bocah Liar dari Aveyron”


Pada Januari 1800, seorang anak telanjang terlihat di pinggiran desa Saint-Sermin, provinsi Aveyron di selatan Perancis tengah. Anak tersebut, yang tingginya hanya sekitar empat setengah kaki tetapi tampak seperti berusia 12 tahun, telah beberapa kali terlihat selama dua setengah tahun belakangan, memanjat pohon, berjalan dengan kaki dan tangannya, minum dari selokan, dan mengais-ngais kenari dan akar-akaran.
Saat anak bermata gelap tersebut datang ke Saint-Sermin, ia tidak berbicara atau merespons pembicaraan apa pun. Seperti binatang yang biasa hidup di alam liar, ia melemparkan makanan yang disiapkan dan menyobek baju yang coba dipakaikan oleh orang lain kepadanya. Bisa jadi anak tersebut kehilangan orang tuanya atau sengaja dibuang oleh orang tuanya. Namun seberapa lama hal tersebut telah terjadi adalah pertanyaan yang sulit terjawab.
Anak tersebut muncul pada sebuah masa dimana perubahan di bidang intelektualitas dan sosial sedang terjadi, yaitu saat pandangan ilmiah mulai menggantikan spekulasi mistik. Para filsuf berdebat tentang jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang hakikat alamiah manusia –pertanyaan-pertanyaan yang akan menjadi inti dari studi perkembangan manusia. Apakah kualitas, perilaku, dan ide yang menentukan makna menjadi manusia merupakan bawaan lahir atau sesuatu yang diperoleh kemudian, atau kedua-duanya? Seberapa penting kontak sosial selama tahun-tahun pertumbuhan awal? Apakah ketidaksempurnaan dalam kontak tersebut dapat  diatasi? Penelitian tentang anak yang tumbuh dalam isolasi mungkin dapat meyajikan bukti akan relativitas pengaruh nature (alamiah atau karakteristik bawaan) dan nurture (pengasuhan, pendidikan, sekolah, dan pengaruh kemasyarakatan lainnya).
Setelah melakukan observasi awal, anak ayng kemudian dipanggil Victor itu, dikirimkan ke sekolah tunarungu dan tunawicara di Paris. Disana ia diserahkan kepada Jean-Marc-Gaspard Itard, seorang praktisi psikiatri –disiplin ilmu baru ketika itu- berusia 26 tahun yang ambisius. Itard yakin bahwa perkembangan Victor dibatasi oleh isolasi dan yang harus dilakukannya hanyalah mengajarkan keterampilan yang biasanya didapat seorang anak dalam suatu masyarakat.
Itard membawa Victor ke rumahnya, dan selama lima tahun berusaha “menjinakkannya”. Pertama-tama Itard menghidupkan kemampuan muridnya untuk membedakan pengalaman sensoris lewat mandi air panas dan mengusap sesuatu yang kering. Kemudian dengan hati-hati dan bertahap, ia mulai melatih respons emosional dan perilaku sosial, bahasa, dan pemikirannya. Metode ynag digunakan Itard –berdasarkan berbagai prinsip imitasi, pengkondisian, dan modifikasi perilaku- jauh melebihi ukuran zamannya, dan dia mulai menciptakan alat ajar yang banyak digunakan pada masa kini.
Sayangnya, pendidikan Victor tidak dapat dikatakan terlalu sukses. Anak tersebut memang membuat kemajuan ynag luar biasa: dia mempelajari banyak nama objek, dan dapat membaca serta menulis kalimat singkat, mematuhi perin]ntah, dan bertukar ide. Dia juga menunjukkan afeksi, terutama kepada Madame Guérin, pembantu rumah tangga Itard, seperti  perasaan bangga, malu, bersalah, dan hasrat untuk dipuji. Walaupun demikian, kecuali menggumamkan suara bernada konsonan atau vokal, dia tidak pernah belajar untuk berbicara. Lebih jauh lagi, ia tetap fokus pada keinginan dan  kebutuhannya, serta tampak selalu rindu pada “kebebasan di padang terbuka dan ketidakpeduliannya terhadap hampir semua kesenangan kehidupan sosial” (Lane, 1976, page 160). Ketika penelitian tersebut selesai, Victor –yang tidak lagi dapat mencari makan sendiri, sebagaimana yang pernah dilakukannya di alam liar- pergi untuk hidup bersama Madame Guérin hingga akhir hayatnya di usia 40-an pada 1828.
Source: Diane E Papalia, Sally Wendkos Old, & Ruth Duskin Feldman, Human Development (ninth edition), The Mcgraw Hill Companies ©2008. Dialihbahasakan oleh A. K. Anwar, Human Develoment (Psikologi Perkembangan) edisi kesembilan cetakan ke-2,  Jakarta: Kencana, 2010.